Buku Tamu

Friday, December 30, 2011

Wayang dan nilai-nilai estetikannya

A.Wayang sebagai dasar filisofi manusia jawa

Perhatian orang-orang jawa terhadap keberadaan wayang, dianggapnya sebagai dasar filosofi manusia jawa. Dalam pertunjukan wayang kulit di jawa suatu tokoh wayang dalam lakon tertentu serung dipakai oleh orang jawa untuk memberikan pemahaman terhadap perjalanan hidu0p baik secara realitas ( kehidupan sehari-hari ) maupun dimasa mendatang juga, dalam pertunjukan sering kali diberikan dalam berbagai nasihat, pitutur, atau ajaran-ajaran penting tentang kehidupan/kebaikan yng semuanya itu untuk memberikan peringatan atau sering memberikan nasihat. dengan demikian, peranan wayang peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia jawa, disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para pujangga jawa.

Wayang merupakan unsur penting dalam kehidupan jawa, yaity sebagai compelling religius mythology, yang menyatukan masyarakat jawa ecara menyeluruh, secara horizontal meliputi seluruh daerah geografi jawa, dan secara vertikal meliputi semua golongan sosial masyarakat jawa. Wayang sebagai seni pertunjukan tradisional jawa seringdiartukan sebagai “bayanmgan “ atau hanya samar-samar yang bergerak sesuai lakon/pakem yang dilakukan seorang dalang ( orang yang menggerakkan wayang ). Bayangan yang dihasilkan wayang itu sering juga dipahami sebagai gambaran perwatakan/karakter manusia sekaligus sebagai gambaran kehidupan manusia.

Seni pertunjukan wayang memunculkan berbagai ragam/jenis wayang. Sri mangkunegara IV membagi wayang menjadi tiga jenis, yaitu:

a. wayang purwa, yaitu wayang yang menceritakan masa kedatangan prabu isaka sampai dengan wafatnya maharaja yudayana diastina.

b. Wayang madya, yaitu wayang yang menceritakan sejak wafatnya prabu yudayana sampai prabu jayalengkara naik tahta.

c. Wayang wasana, yaitu wayang yang mencerutakan sejak prabu jayalengkara sampai masunya agama islam.

Dari aspek seni rupa, gambar wayang kulit purwa bergaya ekspretif dekoratif tradisional, yang mengambil tokoh-tokoh pelaku bersumber pada mahabarata dan ramayana. Jumlah wayang kulit kurang lebih ada 300 buah, wayang wanitanya ( putren ) berjumlah 44 buah. Wayang terbagi menjadi enam golongan, yaitu :

a. wayang ekspresif dekoratif:

1. berdasarkan watak : baik, buruk, setengah baik.

2. berdasarkan kelas : golongan dewa, golongan ksatria, golongan raja.

3. goongan putran /pangerang , golongan putren, golongan punggawa, golongan raksasa, golongan kera.

b. wayang ekspretif dekoratif humoris karikaturis,yaitu wayang yang menggambarkan rasa humor/lucu.

1. humor karikaturis pengikut ksatria; semar, gareng petruk, bagong.

2. humoris karikuturis penikut raksasa: Togog, Sarawta

3. humoris karikaturis pengikut dewa: Pahtuk, Temboro

4. humoris karikaturis pendeta: Cantrik Janaloka

5. Humoris karikaturis wanita: Canggik, Limbuk

c. wayang yang menggambarkan kelompok pasukan, tumbuhan, binatang, bangunan, seperti perampokan/ampiyakan dan gunungan

d. wayang yang menggambarkan binatang dan kenmdaraan, seerti kuda, kereta kencana, gajah, naga, burung garuda, dan lain-lain

e. wayang yang menggambarkan senjata, seperti panah, keris, tumbak, gada, cakra, dan lain sebagainya.

f. wayang yang menggambarkan ruh halus berupa siluman, setan, seperti juru meja, jara meja, keblok, dan lain-lain.

B. Pengertian Nilai dalam Wayang

Nilai adalah sesuatu yang dimiliki atau kuaalitas sesuatu objek tertentu yang disebut baik. Nilai terdapat dalam aksiden absolut dan aksiden intrinsik. Aksiden absolut merupakan aksiden yang mendeterminir dalam dirinya sendiri dan bukan dalam hubungannya dalam yang lain. Ni;lai yang muncul dari aksiden absolut mengahasilkan dua pengertian nilai yaitu nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik. Nilai intrinsi adalah adalah nilai substansial dalam bentuk tertentu, sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang menunjuk pada hubungan antara sesuatu dengan yang lain.

Sejalan apa yang dikemukakan di atas tentang nilai, keberadaan wayang kulit purwa syarat akan nilai-nilai untuk membangun perwatakan manusia agar menjadi manusia berkualitas versui budaya jawa (manusia utama). Berkaiatan dengan masalah nilai dalam wayang mengemukakan bahwa dalam wayang memuat 9 nilai yaitu:

1. wayang sebagai sumber pencarian nilai hidup

salah satu bentuk karya seni yang dapat dipakai sebagai sumber nilai-nilai adalah seni wayang kulit parwa karena di dalamnya memuat berbagai ajaran dan nilai etik yang bersumber dari berbagai ajaran dan nilai etik yang bersubmer dari berbagai agama serta sistem filsafat dan etika.

Ajaran-ajaran dan nilai-nilai etis itu telah memenuhi persjyaratan, yaitu secara objektif, kritis, di mana ajaran-ajaran dan nilai-nilai etuis itu dapat dipakai oleh umat mamnusia khususnya bangsa Indonesia dalam rangka melangsungkan hidupnya. Sebagai bukti atas keluhuran ajaran-ajaran dan nilai-nilai etis itu, karena sistem nilai telah lolos dari berbagai uji coba dari waktu ke waktu, dari dahulu hingga sekarang dan mungkin yang akan datang.

2. wayang sebagai sarana pendidikan watak

ajaran-ajaran dan nilai-nilai wajyang yang etis positif yang telah teruji akan kebenaran dan kurun waktu lama, sehingga dengan wayang dapat dijadikan sarana pendidikan watak. Hal ini sejalan dengan misi para wali sebagai penyebar angama islam di saat menciptakan wayang beserta lakon-lakonnya, yaitu memberikan nasihat-nasihat atau pitutur tentang kebaikan. Menurut tradisi orang jawa dalam mengerjakan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anaknya mulai dengan bercerita atau mendongeng seperti dongeng tentang Kancil Mencari Ketimun. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai etis positif dalam wayang sifatnya tidak dogmatis, tetapi lebih memberialkn alternatif atau menawarkan yang kemudian terserah kepada para penonton.

3. wayang syarat dengan nilai-nilai keluhuran

Nilai-nilai keluhuran itu diharapkan untuk ditiru karena mencerminkan kebaikan yang ersebut terkandung di dalam wayang itu sendiri. Gambaran para tokohnya menunjukkan nilai-nilai etis antara lain:

a. nilai kesemprnaan sejati.

Kedudukan nilai kesempurnaan sejati dalam wamyang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua kstaria yang baik dalam wayang selal berusaha mencapai kesempurnaan hidup sebgai dilambangkan oleh lambang wayang gunungan atau kayon.

b. nilai kesatuan sejati

dalam nilai ini, kesatuan sejati memiliki kedudu kan sangat penting dala sistem etika wayang yaitu sebagai tolok ukur hterbentuknya Indonesia memnyatu/maunggal, manusia terpadu, manusia rukun, manusia pemersatu, dan sebagai tolok kukur usaha manusia untuk hidup di mana ia menentukan bahwa usaha yang luhur adalah dilandasi dan dituntun oleh nilai kesatuan.

c. Nilai kerbenaran sejati.

Kududukan nilai kebenaran sejati yang tinggi dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baikdalam wayng selalu berusaha menjadi”manusia kebenaran” yang dilambangkan oleh tindakan mereka untuk melenyapkan ketidakbenaran. Menurut wayang yang benar adalah hidup sesuai dengan kodrat dan kewajibannya masing-masing. Bagi ksatria yang benar adalah “ memayu hayuning bawana”( mensejahterakan dunia ).

d. nilai kesucian sejati.

“kesucian sejati” yang tinggi dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik selalu berusaha membentuk dirinyamenjadi manusia suci dan menciptakan kehidupan yang suci.

e. nilai keadilan sejati.

Menurut wayang, yang maha adil adalah Tuhan. Sangat sulit nmenjadi manusia adil karena pada dasarnya manusia selalu dikuasai oleh nafsu-nafsu rendah dan kelemahan pribadinya.

f. nilai keagungan sejati.

Kedudkan nilai keagungan yang tinggi dalam dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik selalu berusaha untuk membentuk dirinya menjadi manusia agung.

g. nilai kemercusuaran sejati.

“kemercusuaran sejati yang tinggimdalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik selalu berusaha untuk menjadi “manusia mercusuar”.

h. nilai keabadian sejati.

Nilai ini dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik selalu mengajarkan dan berusaha membentuk dirinya menjadi manusia langgeng.

i. nilai keteraturan mikrokromos sejati.

Nilai tinggi dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik dalam wayang selalu berusaha untuk menjadi manusia ( patuh ) hukum dan tatanan.

j. nilai kasih sayang sejati.

Nilai kasih sayang sejati dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik selalu berusaha membentuk dirinya menjadi manusia humanis yaitu manusia yang memikliki “welas-asih” terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama, dan terhadap tuhan.

4.wayang sebagai penggambaran alam pikiran orang jawa.

Orang jawa yang berpedoman kepada wayang memiliki gambaran jalan dualistik, yaitu melihat kenyataan dalam dua kutub yang bertentangan dan berhadap-hadapan dalam suatu kenyataan antara realitas dan bayangan. Wayang juga menggambarkan dua dimensi realitas, yaitu dimensi lahir dan dimensi batin. Artinya, dimensi lahir menunjuk pada realitas kasar dan dimensi batin menunjuk pada realitas halus walaupun keduanya bertentangan, namun keduanya saling diperlakukan keberadaannya.

Monday, December 19, 2011

Dongeng

ASAL-USUL DESA NGLANDOH

Desa Nglandoh yaiku salah sijine desa kang ana ing kabupaten Pati, mapane ana ing kecamatan Gunungwungkal. Desa kang ora gedhe kuwi nduweni crita kang dadi sejarah dumadine desa Nglandoh.

Critane, Zaman biyen nom-nomane Saridin. Saridin duwe ingon-ingon kewan awujud kebo kanti jeneng kebo Landoh, saben isuk, sore, Dheweke mesthi lunga angon kebone mau. Miturut crita, kebo kuwi ora kebo biyasa, nanging kebo sing nduweni kasekten, kebo kuwi ora bisa dipateni wong kejaba sing duwe dhewe. Saben angon, Saridin ora tau nemtoake ana ngendi anggone angon, nagging dheweke amung ngetutake lungane kebone. Ing sijining dina, kaya biyasane angon kebo, nanging iki beda karo dina-dina biyasane, kebone kuwi mlaku arah ngulon aduh banget, nanging ya tetep wae Saridin amung ngetutake lungane kebone, akhire kebo kuwi mandeg ana ing pinggir kali gedhe. Amarga suket-suket ing pinggir kali kuwi katon seger-seger banget, saking kesele Saridin ngetutake kebone, Dheweke ngaso sedela ana ing gubug pinggir kali nganti keturon, kebo mau ora ditaleni. Sak suwene Dheweke turu, kebone ngiyak-iyak tekan endi-endi. Ngiyak-iyak sawah, ngrusak tandur, mangani kacange wong desa, lan liya-liyane, trus kebo kuwi mau mlebu ing desa sing cedak sawah kuwi. Amarga kebo mau ngrusak sawah lan liya-liyane, wong-wong desa pada nesu, banjur kebo kuwi arep dicekul banjur dipateni, amarga wis ngrusak tanduran. Nanging wong-wong desa ora ana sing bisa nyekel ingon-ingonane Saridin, ora ngira dina wis sore, banjur Saridin tangi saka turu clingak-clinguk ngiwa-nengen nggoleki kebone kok ora ana njerum ing kali. Dhewekwe nggoleki kebone nganti surup, nanging kebone tetep ora ketemu. Banjur Saridin krungu swara rame-rame ing desa kang ora aduh saka sawah nggone Saridin nggoleki kebone. Dheweke nganggit mesthi kebone ana ing desa kuwi, langsung wae Dheweke mara ing desa kuwi, jebul bener apa kang dadi panganggite Saridin. Dheweke takon karo salah sijine wong desa, “ana apakok rame banget?” pitakone Saridin. “ana kebo ngamuk.” Jawabe wong sing ditakoni. Banjur Saridin mara nyekel kebone, amarga kebo kuwi kebone Saridin, kebo kuwi ya manut karo sing duwe. Wong desa padha bungah anarga kebone wis bisa dicekel. Banjur kebo kuwi arep dipateni, kebo diplacok nganggo parang kang kilap-kilap, nanging ora tedas, banjur wong-wong desa pada golek gaman kang paling landep, tapi ya tetep wae ora tedas kanggo ngrthok gulune kebo landoh kuwi.

Banjur Saridin takon marang wong desa kanga rep mateni kebo kuwi, “kena apa kebo kuwi arep kok pateni?’ takone Saridin.”kebo kuwi wis ngusak sawahe wong-wong desa.” Jawabe wong desa. “ora ana sawah sing rusak, tanduran sing rusak,malah katon lemu-lemu ngono kok.” Saridin njelaske karo nduding arah sawah. Trus wong-wong desa padha niliki sawahe, jebul apa sing dikandakke Saridin bener. Amarga kasektene kebo landoh, desa kuwi dijenakake desa Ngladoh, trus kali kang kanggo njerum kebo kuwi dijenakake Sendang kebo landoh. Nganti saiki sendang kuwi tetep dikramatke.

Sunday, December 11, 2011

Dongeng

Asal Usul Keraton Pati Pesantenan

Kawiwitan saka pamarintahan R. Kembangjoyo, sing bisa nggatukake telung pamarintahan wektu kuwi. Yaiku pamarintahan Paranggaruda, Carangsoka, lan Mojosemi. Kadipaten Paranggaruda wilayahe ana ing kidul kali Juwana. Penguasa kadipaten Paranggaruda gelare Adipati Yudapati. Wilayah kekuasaan kadipaten Paranggaruda yaiku daerah sing saiki dadi kecamatan Batangan, Jaken, Jakenan, Pucakwangi, Winong, Sukolilo, Kayen, Tambakromo, Gabus lan separone wilayah Rembang. Petilasan pusat pamarintahan Paranggaruda ana ing desa Goda kecamatan Winong. Kadipaten Carangsoka lan Mojosemi wilayahe ana ing daerah lor kali Juwana. Panguasa kadipaten Carangsoka duweni gelar Adipati Puspahandungjaya, duweni putra tunggal jenenge Dewi Rayungwulan. Wilayah kadipaten Carangsoka ngliputi daerah sing saiki kecamatan Trangkil, Juwana, Pati Margorejo, Tlogowungu, gembong Wedarijaksa, Margoyoso, Tayu, Dukuhseti, Gunungwungkal, Cluwak lan separo ngliputi wilayah Jepara wetan. Petilasan pusat pamarintahan Carangsoka ana ing desa Sukoharjo kecamatan Wedarijaksa.

Wektu iku telung kadipaten iku kapisahake karo segara / selat sing saiki dadi kali Juwana utawa jaman kae dijenengi kali Silugonggo. Yen warga Pati saiki ngarani kali Ngantru.

Adipati Yudapati, penguasa kadipaten Paranggaruda iku direwangi karo Patih, yaiku Yuyurumpung sing duweni prajurit kang diandalake yaiku Sondong Majeruk lan direwangi para bekel lan demang Gendolo, demang Semut, demang Gunungpati, demang Tlogomoyo, demang Jembangan. Adipati Yudapati duwe putra tunggal jenenge R. Bagus Menakjosari. Nanging rupane elek lan cacat ing tanganlan driji-drijine. Adipati Yudopati duweni angen-angen arep ngentukake R. Josari karo Dewi Rayungwulan putra tunggal R. Puspohandungjoyo. Nanging amarga duweni rupa elek, cacat lan dheweke krungu yen R. Josari iku duweni watek sombong, congkak, seneng foya-foya ngentekake dhuwit Negara, mula iku dheweke arep nolak lamaran saka R. Josari kanthi cara kang alus, dheweke gelem nikah yen R. Josari nyanggupi syarat sing dijaluk, yaiku Dewi Rayungwulan njaluk pinangan seperangkat gamelan kang bisa muni dhewe. Krungu kaya ngono R. Josari raine abang, dheweke nganduk amarga syarat iku ora bakal bisa diwenehake, iku awujud penolakan alus.

Nanging sapa nyana singapati saka kadipaten Paranggaruda nemokake dalang kang saben pagelaran wayang ora tau nggawa gamelan nanging ana suara gamelan. Ki Dalang iku jenenge Ki Dalang Sapanyana. Ki Dalang langsung ditemokake karo Adipati Yudapati karo 2 sindene, yaiku Ambarwati lan Ambarsari.

Wektu Ki Dalang Sapanyana lan kaloro sindene nganakake pagelaran wayang ing kadipaten Carangsoka, Adipati Puspahandungjaya lan Prameswari wis ora bisa ngomong apa-apa maneh. Dewi Rayungwulan sanalika iku banjur mlayu ana ing praduan Ki Dalang Sapanyana. R. Josari ngamuk banjur njabut kerise lan nyerang Ki Dalang Sapanyana nanging Ki Dalang bisa ngindar lan keris mau malah kena R. Josari dhewe. Adipati Yudapati ngamuk lan njaluk Adipati Puspahandungjaya supaya nyerahake Ki Dalang Sapanyana. Nanging Adipati Puspahandungjaya mendel wae, mula iku Adipati Yudapati murka lan duwe niat arep nggempur Carangsoka.

Adipati Puspahandungjaya krungu kabar iku. Dheweke banjur ningkatake kewaspadaane lan nyusun strategi kanggo ngadepi pasukan Paranggaruda. Adipati Puspahandungjaya ngundang Senopati Kembangjaya kanggo ngrembug taktik kanggo ngadepi gempuran iku.

R. Kembangjaya iku pemuda kang gagah lan ganteng. Senajan umure isih enom nanging dijuluki ahli pertapa amarga duweni kesaktian kang sekti mandraguna.

Senopati Kembangjaya menehi usul supaya nyusul R. Sukmayana ing pertapan Telamaya ing kawasan Gunung Muria. Adipati nrima usul iku banjur ngongkon utusan marani R. Sukmayana.

R. Sukmayana yaiku kakak ipare Senopati Kembangjaya. Dheweke uga pendekar sekti, duwe pusaka kang ampuh yaiku kuluk kanigara lan keris rambut pinutung.

Adipati Yudapati mimpin langsung para prajurit banjur marentahken penggempuran. Nalika perang, Adipati Yudapati kena tombak lan pedang. Dheweke mati banjur prajurit sing isih padha nyerah. Sanalika iku prajurit Carangsoka lunjak-lunjak saking senenge. Banjur R. Kembangjaya diwenehi gelar Adipati Carangsoka lan didadekake bojone Dewi Rayungwulan. Ki Dalang Sapanyana didadekake patihe R. Kembangjaya. Ambarwati lan Ambarsari disunting karo R. Sukmoyono.

Sawise kabeh tentrem kadipaten Carangsoka, Mojosemi lan Paranggaruda didadekake siji dipimpin karo R. Kembangjoyo. Kadipaten iku didadekake siji kanthi cara mbabat alas Kemiri direwangi R. Sapanyana patihe, mbangun pusat pamarintahan anyar supaya luwih cedhak anggone ngawasi Paranggaruda taklukane. Wektu mbabat alas Kemiri ketemu karo wong dodol dawet jenenge Sagola utawa P. Onggo, R. Kembangjoyo tuku kanggo persediaan dheweke lan prajurite. Dawet kang digawe saka pati wit aren, diwenehi santen saka klapa, digebyur santen lan gula aren. Saka iku R. Kembangjoyo duwe gagasan yen kraton sing anyar diwenehi jeneng Pati Pesantenan. Ngadeke kurang luwih taun 1292 M, miturut silsilah raja sakdurunge kejayaan Majapahit.

CERKAK

Konang Manjing Bun-bunan

Dening : Sugiarta Sriwibawa


Trep-tep-tep-tep-tretep

Kumeretepe swara kamitetep kang sumlempit ana ngisor ambentetela gawe nglilire suksmadi, “wis jam pira, ta” batine. Mripate dilek-lekake arep nyawang mendhuwur pener gendheng kaca sing mung saepek-epek ambane. Pancen dudu gendheng kaca, mung pecahan kaca sing tinata ana ing payon supaya yen awan senthonge oleh sunar padhang saka langit.

“wis jam pira, ya?” unine suksmadi rada sora supaya keprungu dening embahe wadon sing turu ana senthong sisihe. Ing omahe sing mung kanggonan wong telu klebu embahe wadon lan adhine wadon, ora ana jam sing muni theng-theng. Biuyen pancen ana jam bandhul sing unine saben setengah jam, nanging jam sing angkane Romawi kuwi wis didol sawise embahe lanang suksmadi tinggal donya. Tan ana sing duwe pametu, prasasat saisine omah kayata bala pecah lan sapanunggalane kapeksa didol. Bapake suksmadi sing dadi guru taman siswa ing slawi wis ditangkep lan diukum dening walanda jalaran didakwa melu kaum ekstrimis sing ngrusak gerdu-gerdu listrik.

“Mbah, wis jam pira?” Suksamdi ngambali pitakone. Mak-krengket, embahe tangi saka ambene.

“Mau wis krungu kluruke jago kang kaping pindho; dadi kira-kira wis jam papat”, wangsulane embahe wadon karo nginger lan karo mbenakake kemule putune wadon sing turu ana sisihe.

Suksmadi tangi gregah, grayah-grayah, mbukak lawang senthonge, uga banjur ngangkat slarak lawang mburi sing tumuju marang jedhing. Simbah wadon banjur krungu putune lanang gebyar-gebyur adus sajak kesusu.

Sawise nganggo sandhangan, putu lanang iki nedya enggal-enggalbali menyang daleman, pangonane kanca-kancane TP, Tentara Pelajar, sing dadi makuwu ana kana. Manut karepe, dheweke arep metu saka omah seprapat jam sadurunge jam malam entek, dadi isih sepi durung ana wong siji-sijia sing weruh, saengga ora kadenangan dening telik Landa, sida bilai tenan. Ing saben kampung kutha sala sawise landa ngebroki, akeh wong kepelet iming-iming daid telik Landa. Meh saben wong ora bisa mangan, nanging yen dadi telik Landa banjur tampa dhuwit, mertega, keju, roti, corned, lan sarden.

Satemene Suksmadi arep bali menyang Daleman bengi kuwi, wis semayan karo kanca-kancane saregu sing arep dhedhemitan mlebu kutha, nedya ngganggu tangsi polisi Landa ing Tipes. Nanging nganti jam siji bengi kanca-kancane ora ana sing teka. Darmin thuntheng, toban regu, kanda arep nggawakake bedhile pisan kareben Landa gaweyan Belgi.

Suksamdi anggone ngenteni nganti angon terus, banjur keturon nganti jam papatesuk sawise ginugah dening kumretepe kamitetep. Bengi kuwi pancen ngantuke tan kena sinayutan, jalaran awane ora wani turu. Yen sawanci-wanci Landa nggelar gropyokan awan-awan, sapa singtinemu lagi turu mesthi kadakwa dadi gerilyawan : bengi ora turu jalaran ndhedhepi tangsi-tangsi Landa mbedhili.

Ing kampunge Suksmadi wong-wong lanang padha ketar-ketir yen digropyok tentara Landa, jalaran ing kampung kono ana sawenehe pawongan sing dadi telik mungsuh. Bengi-bengi dening kanca-kanca TP arep ditubruk kuwuk, nanging ndaramas kuwi wis ora wani turu ana ing omahe, turune ana kantor lan markas Landa ing Margayudan, malah dijaga nganggo panser sing ngrenggunuk ing ngarep markas. “Wis ya mbah, aku arep mangkat”, pamite putu lanang. Embahe wadonn gage nyedaki. “Di, kae ana sega wadhang, turahan mau bengi, panganen. Kowe rak arep mlaku adoh menyang daleman apa baki kana. Kae segane dak tutupi layah. Gereh bakaran mau bengi ya isih ana”.

Simbah karo putu wedok wae sing mangan mengko”, wangsulane Suksmadi cekak. “mengko ana daleman aku sakanca oleh kiriman saka wong-wong desa kana. Malah berase putih”.

“Oalah Di”, celathune embha wadon. “Kok olehmu mikir menyang wong tuwa kaya ngene dalah adhimu wae ngengehana”.

Suksmadi mbukak lawang ngarep, nyawang dalan sing sepi.

“Wis ya mbah”, pamite, tanpa nyawang embahe. Satemene putu lanang kuwi ora tegel ninggal embahe karo adhine sing isih cilik. Apa sing padha dipangan ana jero kutha? Dhek wingi Suksmadi negor wit gedhang sing wohe durung suluh. Gedhange disimpen ana njero kothak, dilurupi bagor supaya gelis mateng. “Patang dina engkas sing tadah udan kuwi wis bisa dipangan”, kandhane karo adhine.

“Dak sangoni slamet, Di. Aja lali nenuwun marang Gusti Allah, ya”, celathune embahe wadon, sing atine krasa kumelap weruh regemenge putune lanang nyabrang dalan, nggeblas mengidul.

Suksmadi dumadakan mandheg, mengo nyawang embahe wadon sing isih njegreg ana pinggir dalan. Putu lanang bali, gupuh unine: “Mbah, gek ndang mlebu omah. Aja nganti keweruhan sapa wae. O iya, kandakna Citra Becak yen aku esuk iki wis bali menyang daleman. Wong liya aja ana sing ngerti, wong jarene Citra Becak wetan kono ana bocah cilik mangan roti. Mesthi owng tuwane gedhibal Landa”.

“Iya, iya Di. Slamet lakumu saparan-paran”, wangsulane embahe.

Embah wadon ethok-ethok mlebu omah, nanging sawatara tindak nekad metu maneh, anguk-anguk ana pinggir dalan nyawang putune nganti ora katon.

Kocapa lakune Suksmadi wis tekan sisih kidul prapatan sraten, nuli mlipir kalen, ngancas menyang slembaran, karepe mampir omahe Pralebda, kancane TP sing uga lagi tilik wong tuwane.

Tekan ngarep omahe Pak Martawaluya, bapake Pralebda, Suksmadi gojag-gajeg arep nothok lawang ngarep sing manglung dalan. Sawisi noleh ngiwa nengen ora katon ana wong siji-sijia, dheweke wani nothok lawang. Sawisi ngeling-eling tembung sandi, alon-alon dheweke celuk-celuk jenenge kancane kuwi: ”Sastra……Sastra……”

Saka jero omah keprungu swara klesah-kleseh delamakan sikil sing rada diseret, nuli mangsuli panyeluk saka jaba: “Ganthol…Ganthol”

Saben teling dina sandine diganti: dhek wingi sandine isih “iket” karo “mondholan”. Yen tembung-tembung sandi kuwi kleru pangucape, genah mungsuh sing arep maeka.

Lawang oamhe Pralebda menga sisih. Weruh Suksmadi sing kena dipesthekake arep bali menyang Daleman, Pralebda nggablok karo misuh: “Edan kowe, nekad bali saiki? Saben esuk mortire Landa ngrutuk Baki!”

“Kowe ora bali saiki?”suksmadi nanting.

“Ora, kandhane bapak saiki dina bilaiku! Kudu ngati-ati. Sesuk wae apa suk emben”, wangsulane Pralebda. “Iki dudu gugon tuhon lho, ning manut petungane embah-embah buyut. Dina iki puput puserku.